PROFIL SULTAN GROUND dan CAGAR BUDAYA

SULTAN GROUND
SULTAN GROUND 7f283aa6-39bf-4399-a927-3bdebfd21cb0_Pemanfaatan-Sultan-Ground-Yogyakarta-240913-SGD-1.jpg(Tanah Keraton) merupakan tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.

Pembagian Sultan Ground
1.      Crown Domain atau Tanah Mahkota
Tanah Mahkota tidak bisa diwariskan karena merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, PesanggrahanAmbarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan sebagainya.
2.      Sultanaad Ground (tanah milik Kasultanan)
adalah tanah-tanah yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat.
Dasar Hukum Sultan Ground (SG)[1]
a.       Koninlijk Besluit (yang diundangkan dalam Staatsblad Nomor 474 Tahun 1915);
b.      Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 dan Rijksblad Kasultanan Nomor 18 Tahun 1918;
c.       Rijksblad Kasultanan Nomor 11 Tahun 1928 dan Rijksblad Kasultanan Nomor 2 Tahun 1931;
d.      Rijksblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925.

Pola Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan (Sultan Ground)
Penggunaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan (Sultan Ground) oleh penduduk harus mendapatkan ijin dari Kasultanan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan izin adalah Panitikismo, yaitu dengan mengeluarkan surat kekancingan. Tanah yang dipergunakan tersebut berstatus magersari, artinya masyarakat boleh menempati tetapi tetap mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah Keraton. Namun pada kenyataannya masyarakat yang menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah Sultan Ground sebagian besar tanpa ada izin dari Keraton. Jika ada izin pun, ada banyak izin (surat kekancingan) yang telah kadaluarsa dan belum diperbaharui lagi. Biasanya masa berlaku surat kekancingan tersebut maksimal 10 tahun.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah Sultan Ground di Yogyakarta bermacam-macam, di antaranya dimanfaatkan untuk:
1)      permukiman, misal di Desa Guwosari, Kec. Pajangan, Kab. Bantul
2)      usaha pertanian, misal di Desa Gadingsari, Kec. Sanden, Kab. Bantul
3)      obyek wisata, misal Pantai Kuwaru di Kec. Srandakan, Kab. Bantul
4)      tempat bumi perkemahan, misal di Desa Caturharjo, Kec. Pandak, Kab. Bantu
5)      lokasi transmigrasi lokal dan tempat penanaman tanaman langka, misal di Desa Karangtengah, Kec. Imogiri, Kab, Bantul
6)      tempat pendidikan (sekolah)
7)      tempat ibadah (masjid)
8)      kantor instansi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dll.

Tanah D.I. Yogyakarta Sekarang
Semula, Yogyakarta adalah daerah swapraja. Diktum UUPA huruf a mengatakan, hak dan wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan huruf a diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tapi sampai sekarang, peraturan pemerintah itu belum dibuat. Karena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilaksanakan sepenuhnya. Yang diberlakukan hanya sebatas tanah hak yang diatur berdasarkan hukum Barat[2]
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa diatas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Di Yogyakarta, Sultan merupakan pemilik tanah yang merupakan tanah Keraton. Rakyat hanya punya hak sewa atau hak pakai dan biasa disebut magersari. Jika Sultan menghendaki, sewaktu-waktu ia dapat mencabutnya kembali. Menurut sejarahnya, hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah Keraton itu sendiri.
bahan tugas 3.jpgDualisme penerapan hukum tanah di DIY telah berlangsung sejak diterbitkannya UUPA yang mengatur secara detail mengenai ketentuan hukum agraria secara nasional. Bagi Yogyakarta, UU tersebut awalnya harus dikecualikan dan penerapannya baru diakui pada 2 Februari 1984 dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyatakan UUPA juga berlaku di Yogyakarta.
Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meminta izin kepada Paniti Kismo. Paniti Kismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kabupaten, walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut. Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan UUPA serta ketentuan lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai tanah di DIY masih bersifat dualisme.
Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti megarsari kepada Paniti Kismo. Namun jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun tanah milik Kraton.



26-cagar-budaya-indonesia-masuk-nominasi-warisan-dunia.jpgCAGAR BUDAYA
Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. (UU No.11 tahun 2010, pasal 1 ayat 1)
Beberapa istilah terkait dengan cagar budaya [3]
1.      Benda Cagar Budaya
cagar-budaya.jpgAdalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; dan benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UU No. 5/1992 Pasal 1).
2.      images.jpgBangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
3.      Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
4.      Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
5.      Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Tujuan Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah :
Menurut Undang-Undang RI No.11 tahun 2010 Cagar Budaya bertujuan untuk:
1.      Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia.
2.      Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya.
3.      Memperkuat kepribadian bangsa.
4.      Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5.      Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat Internasional.
Sedangkan Menurut Perda 9/1999 DKI Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan Cagar Budaya yang diatur dalam Peraturan Daerah ini bertujuan :
1.      Mempertahankan dan memulihkan keaslian lingkungan dan bangunan yang mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2.      Melindungi dan memelihara lingkungan dan bangunan Cagar Budaya dari kerusakan dan kemusnahan baik karena tindakan manusia maupun proses alam.
3.      Mewujudkan lingkungan dan bangunan Cagar Budaya sebagai kekayaan budaya untuk dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan dan citra positif kota Jakarta, sebagai Ibukota Negara, Kota Jasa dan daerah tujuan wisata.

Komentar

Posting Komentar