Peraturan Hukum di Indonesia tentang Konservasi Berbasis Bisnis

*      Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kita menyadari bahwa pengelolaan potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut juga harus sejalan dengan upaya perlindungan dan pelestarian. Oleh karena itu, ketersediaan sumberdaya ikan wajib kita jaga demi kesejahteraan masyarakat saat ini dan di kemudian hari. mengamanatkan dan mengatur bagaimana semestinya konservasi dijalankan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan kawasan konservasi bersifat sentralistik dan tertutup (larangan) bagi semua pihak dalam konteks pemanfaatannya, harus jujur diakui telah berdampak kurangnya manfaat sosial ekonomi kawasan konservasi perairan bagi masyarakat. Pada akhirnya peraturan ini kurang mendapat respon positif dari masyarakat dikarenakan hal ini mengalami hambatan akibat informasi yang kurang di tingkat masyarakat.
Kawasan popular lainnya adalah hutan mangrove, pada ekosistem pesisir merupakan zona peralihan antara ekosistem darat dan laut, sehingga kewenangan pengelolaan mengharuskan keterlibatan multi sektoral/instansi. Hal tersebut tergambar dari banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama dalam hal pemanfaatan hutan mangrove sehingga memicu munculnya konflik yang tidak kunjung selesai. Sektor-sektor tersebut antara lain, yaitu sektor perikanan, perhubungan, industri dan perdagangan, pertambangan, kehutanan, permukiman dan pariwisata yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kecenderungan banyaknya instansi yang berwenang dalam mengelola hutan mangrove menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya ”tumpangtindihnya kebijakan”, mempertajam konflik sektoral dan saling lempar tanggung jawab. Kondisi demikian telah tergambar dari semakin rusaknya hutan mangrove hamper di seluruh pesisir Indonesia. Sebagai contoh dalam kasus penanganan hutan mangrove di Delta Mahakam telah terjadi konversi hutan mangrove dari 0% menjadi 80% dari total luas hutan mangrove yang ada, menjadi kawasan pertambakan (budidaya udang) hanya dalam kurun waktu 15 tahun (1986 – 2001) bahkan ada kecenderungan pelaksanaan aturan untuk green belt tidak diindahkan.


*      PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Kawasan perlindungan setempat merupakan upaya dalam melindungi dan melestarikan ruang terbuka hijau di sepanjang atau sekitar kawasan sumber daya air yang dapat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan. Kawasan ini terdiri dari sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, dan kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal. Menurut PP No. 26 Tahun 2008 terdapat zonasi pembagian kawasan sumber daya air, yang mana dengan adanya zonasi ini ini diharapkan pemanfaatan kawasan akan berjalan maksimal karena telah ada aturan baku yang telah mengatur sebagai dasar dan acuan pihak pemilik hak untuk mengurus guna maksimalisasi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Peraturan ini juga mengatur tentang arahan pengelolaan kawasan sempadan pantai. Namun alangkah baiknya, telah ada peraturan maka dari pihak pemerintah  gencar mensosialisasikan peraturan ini, karena pada hakekatnya semakin masyarakat yang banyak mengetahui aturan maka tujuan adanya peraturan ini diharapkan dapat tercapai serta dapat memberi aspek kemanfaatan bagi masyarakat di segala lapisan masyarakat.
Kemudian analisis terhadap empirisnya kaitannya pemanfaatan dengan kebersihan lingkungan, kita ambil contoh sempadan pantai biasanya terdapat dermaga untuk berlabuh perahu perahu nelayan, baik nelayan lokal maupun luar, dan yang biasanya sering terjadi adalah pencemaran lingkungan sekitar, baik di air maupun di darat. Maka yang harus diperhatikan disini adalah peraturan tentang aturan perlindungan pencemaran lingkungan, karena sangat berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan dan ekosistem yang ada. Selain itu tempat seperti itu bisa dijadikan sebagai kawasan wisata yang nantinya akan memberikan kontribusi yang lebih untuk pemasukan daerah tersebut, tetapi harus dengan pengengelolaan yang benar dan dapat menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Oleh karena itu, peraturan tersebut akan lebih lengkap apabila mengatur pula tentang kebersihan kawasan yang bersangkutan serta akibat hukumnya ketika terjadi pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Aturan selanjutnya mengenai kawasan sempadan sungai. Di dalam peraturan ini perlu dipertegas khususnya pada masyarakat yang bermukim di sekitar sempadan sungai, baik masyarakat yang di kota maupun desa. Biasanya karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang hal tersebut sering sekali menyebabkan terjadinya pencemaran di sempadan sungai. Khususnya tentang pembuangan sampah yang sampai saat ini menjadi masalah besar di Indonesia. Maka aturan tentang itu bisa diperjelas dan dipertegas.
Untuk kawasan lindung sekitar mata air bisa juga dikembangkan untuk kawasan wisata alam. Mungkin di PP No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional bisa ditambahkan ke arahan pengelolaan kawasan sekitar mata air, dengan menginovasikan hal seperti ini mungkin masyarakat bisa lebih kreatif dan semakin peduli dengan liungkungan sekitarmnya untuk dikembangkan lagi tanpa merusak dan ,mengalihfungsikan kawasan tersebut.

*      UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan ini menetapkan Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagai wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia.

*      Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Perkembangan dan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menuturkan paradigma baru konservasi dari aspek desentralisasi kebijakan dan sistem zonasi dalam pengelolaannya, perkembangan capaian dan upaya-upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi, dilengkapi dengan profil dan data informasi kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

*      UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, maka dilakukan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya, suaka perikanan dan jenis ikan yang dilindungi. Terdapat jenis dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya

*      UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Indonesia adalah Negara tropis yang mempunyai sekitar banyak wilayah kehutanan hamper di setiap pulau baik pulau kecil maupun pulau besar. Maka dari itu peraturan tentang kehutanan sangatlah penting mengingat dewasa ini manusia cenderung menyalahgunakan fungsi hutan untuk mengejar kepentingan ekonomi semata tanpa memikirkan akibat jangka panjang yang akan datang. Dengan adanya peraturan ini diharapkan hutan di Indonesia difungsikan sebagaimana mestinya, sehingga akan mengurangi benturan kepentingan antarmasyarakat. Pastinya setiap orang mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang berbeda, namun ketika telah ada aturan baku yang menjadi dasar keberlangsungan semua makhluk hidup dan ekosistem yang ada, maka diharapkan setiap orang mempunyai kesadaran sehingga dapat lebih bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, termasuk wilayah perhutanan.
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 mengatur pula tentang konservasi alam di kawasan hutan Negara, yang mencakup konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang disediakan kawasan hutan. Karena sekarang ini terdapat banyak kerusakan hutan karena digunakan untuk pertanian maupun bisnis lainnya, sehingga bisa terjadi kerusakan hutan. Misalkan kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan saat ini. Kebarakan terjadi karena adanya bisnis kelapa sawit yang menggunakan hutan lindung di Kalimantan. Dampak dari kebakaran tersebut tidak hanya menimpa rakyat Indonesia saja, tetapi sampai ke wilayah Negara tetangga. Tentu saja dengan adanya perusakan hutan seperti ini akan merubah fungsi hutan itu sendiri dan makhluk hidup yang ada di dalamnya akan merasakan dampak yang membahayakan hidup mereka.
Kawasan hutan dibagi menjadi 3 kawasan, yang masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda. Salah satunya adalah hutan wisata, dimana tujuannya adalah sebagai kawasan wisata alam yang dapat dijadikan sebagai lapangan pekerjaan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan serta orang-orang yang bekerja dan mengabdi di kawasan tersebut. Dengan adanya inovasi-inovasi tanpa mengesampingkan aspek lingkungan, maka kawasan hutan wisata akan menghasilkan pundi-pundi ekonomis yang harapannya dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat terkait.

*      Permen ESDM 17/2012 tentang penetapan kawasan bentang alam karst menggantikan Kepmen ESDM 1456 K/20/MEM/2000 tentang pedoman pengelolaan karst.
Pengelolaan Karst Kawasan Pegunungan Sangkulirang-Tanjung Mangkaliat (Kalimantan Timur) :
a.       Secara eksplisit belum terdelineasi dalam RTRWN, namun memiliki nilai strategis apabila ditetapkan sebagai Warisan Dunia.
b.      Dengan penetapan kawasan ini sebagai Warisan Dunia dan Kawasan Strategis Nasional berimplikasi pada perlunya penyiapan landasan hukum dan Rencana Tata Ruang Kawasan.
c.       Sosialisasi dan dukungan dari semua pihak perlu terus dilakukan dalam rangka melestarikan ini.
Analisis aturan tersebut adalah secara langsung Negara Indonesia ini sangat beruntung karena kekayaan alam yang luar biasa, untk peraturan pengelolaan kars di Indonesia masih banya yang belum terlontrol dan illegal, apabila tidak di kendalikan maka akan merusak dan mematikan peran kawasan yang sangan berpengaruh terhadap lingukngan sekitar.

*      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
UU No. 5 Tahun 1990 menyentak perhatian kita terhadap sikap dari aparatur negara yang hendak mengeluarkan masyarakat adat Orang Rimba dari kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dalam program Rencana Perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (RPTNBD). Program perluasan taman nasional memantik perdebatan panjang dalam diskursus ekofasis dengan ekopopulis. Pertanyaan selanjutnya, apakah orang Rimba yang telah menghuni dan bagian yang tidak terpisahkan antara kehidupan orang rimba dengan Taman nasional harus dikeluarkan dari kawasan Taman Nasional dengan alasan konservasi? Maka disinilah terjadi konflik akibat adanya peraturan yang implemetasinya sedikit membelok dari yang seharusnya.
Fenomena inilah yang rawan terjadi dalam implementasi peraturan, adanya benturan kepentingan nasional dengan kepentingan adat. Berangkat dari konsepsi dan definisi Taman Nasional di atas sebagaimana diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan salah satu faktor yang membentuk paradigma negara dengan masyarakat yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional dan desa-desa sekitar hutan. Masyarakat yang selama ini berada dalam kawasan dan desa-desa sekitar hutan menganggap bahwa pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masyarakat mempunyai pola dan tata cara untuk mengatur, melindungi dan mempertahankan sumber daya alam tersebut. Masyarakat yang berada di dalam kawasan Taman nasional maupun di sekitar Taman Nasional telah mempunyai pengelolaan terhadap kawasan sumber daya alam dan terbukti mampu mencegah kerusakan hutan. Masyarakat secara arif dan terbukti mampu menjaga kelestarian secara berlanjut (sustainable).
Didalam rumusan revisi UU No. 5 tahun 1990 selain daripada merumuskan paradigma negara vis rakyat yang juga berperspektif HAM juga menawarkan usulan kongkrit. Di diktum dasar “mengingat” sehingga kalimatnya berbunyi “bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Klausula “yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia” merupakan ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang terdiri dari berbagai konvenan seperti UU No. 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 12Ttahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), UU No. 29 tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
Jadi kesimpulannya adalah harus ada kesinergisan antara peraturan dan implementasi untuk mencapai hakekat tujuan hukum yakni dari aspek kemanfaatan, kepastian hukum serta keadilan, sehingga dapat menjamin hak-hak asasi masyarakat Indonesia dimanapun dan kapanpun berada.

*      UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun. Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang.
Contoh kasus di Salatiga, Salatiga dikenal sebagai kota yang udaranya dingin, enak buat istirahat, mengisi waktu liburan, makananya enak-enak dan masih banyak gedung-gedung tua dengan arsitektur Belanda yang sangat bagus-bagus. Tetapi saat ini terusak ketenangannya dengan rencana pembongkaran salah satu bangunan cagar budaya yang dimiliki Salatiga. Jika bangunan tersebut jadi dibongkar, Salatiga akan kehilangan satu lagi saksi sejarah dan jati diri.

Dari sinilah ada perbedaan antara tujuan dari konservasi benda cagar budaya dengan aksi pembongkaran salah satu bangunan cagar budaya yang dimiliki Salatiga dengan tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Padahal asset ini dapat dijadikan tempat wisata yang memiliki nilai sejarah yang tinggi baik untuk wisatawan lokal maupun mancanegara, dengan sedikit polesan-polesan ataupun pugara-pugaran guna meningkatkan nilai jual terhadap asset ini. Selain sebagai media studi juga sebagai media lapangan pekerjaan, yang mana setiap tempat wisata pasti ada yang mengurusnya, dari situlah akan menghasilkan nilai-nilai ekonomis yang dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidup masyarakat sekitar. 

Komentar