- Pengertian
Istilah Hukum pidana adat sebenarnya
merupakan istilah yang diambil dari terjemahan “adat delictenrecht” sebagai
istilah yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Hukum adat tidaklah mengenal
pembagian bidang hukum pidana,
keperdataan, tata negara maupun administrasi. Istilah yang dipergunakan oleh
Van Vollenhoven hanyalah pembagian untuk mempermudah analisis atas bidang hukum
adat di Indonesia. Hukum pidana adat adalah ketentuan hukum yang mengatur
tentang pelanggaran adat sebagai: “suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau
sekumpulan orang, mengancam atau menyingung atau mengganggu keseimbangan dan
kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateniil, terhadap orang
seseorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan yang demikian
mengakibatkan suatu reaksi adat”.
Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat
adalah UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Kekuasaan kehakiman. Sifat hukum
pidana adat, adalah : menyeluruh dan menyatu, ketentuan yang terbuka untuk
segala peristiwa (tidak mengenal “prae extence regel”), membedakan
permasalahan, peradilan atas permintaan serta pertanggungjawaban kolektif.
Sumber hukum pidana adat, lebih banyak ditemukan dalam peraturan-peraturan
tidak tertulis.
- Delik
adat
Di dalam hukum pidana adat, ada berbagai
perbuatan yang dianggap sebagai delik adat di samping ada pula
pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan. Perbuatan-perbuatan tersebut
apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam :
1) delik terhadap harta benda;
2) delik terhadap kepentingan orang banyak;
3) delik terhadap kehormatan seseorang; dan
4) delik terhadap kesusilaan.
Berbeda dengan delik pada umumnya,
unsur-unsur delik adat meliputi :
1) adanya perbuatan yang dilakukan oleh
orang atau kelompok orang ataupun pengurus;
2) bertentangan dengan norma adat;
3) perbuatan dipandang menimbulkan adanya
ketidakseimbangan kosmis atau kegoncangan dalam masyarakat; dan
4) adanya reaksi berupa sanksi adat.
Di dalam masalah pertanggungjawaban, hukum
pidana adat di samping mengenal pertanggungjawaban pribadi, juga mengenal
pertanggungjawaban kolektif. Hukum pidana adat tidak mengenal alasan pembenar
serta alasan pemaaf sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.
3.
Reaksi Adat dalam Delik Adat
Pada
hakikatnya, di dalam hukum adat tidak dikenal sanksi, tetapi upaya adat atau
reaksi adat. Hal ini didasarkan atas suatu konsep pemikiran bahwa pelanggaran
adat, merupakan suatu pelanggaran ketentuan hukum tidak tertulis yang berakibat
adanya ketidakseimbangan “kosmis”, siapapun pelanggarnya mempunyai kewajiban
untuk mengembalikan ketidakseimbangan yang terganggu seperti keadaan semula.
Berbagai
jenis reaksi adat antara lain :
1) pengganti
kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan gadis yang
telah dicemarkan;
2) pembayaran
uang adat;
3) selamatan
untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;
4) penutup
malu/permintaan maaf;
5) berbagai
rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan
6) pengasingan
dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.
Filosofi
yang mendasari penghukuman dalam hukum adat berbeda dengan pemidanaan menurut KUHP.
Penghukuman dalam hukum adat lebih banyak dilandasi oleh falsafah harmoni,
sedangkan dalam KUHP lebih berorientasi pada masalah retributif dan
rehabilitatif. Di dalam organisasi kemasyarakatan adat dalam bentuk persekutuan
hukum adat, melekat suatu wewenang untuk menjatuhkan sanksi adat.
Perbedaan sistem
hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana Adat:
NO
|
KUHP
|
HUKUM
ADAT
|
1
|
Yang dapat dipidana hanyalah manusia
|
Persekutuan hukum
adat/ persekutuan yang berdasarkan hubungan darah (keluarga, marga, paruik) dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh warganya.
|
2
|
Seseorang hanya dapat dipidana kalau mempunyai kesalahan (schuld), baik
karena disengaja (opzet, dolus) atau karena kekhilafannya (culpa).
|
Seseorang sudah
dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa disengaja atau
tanpa adanya kelalaianya.
|
3
|
Pada dasarnya setiap setiap delik adalah menentang kepentingan negara /
umum, sehingga setiap delik adalah persoalan negara, bukan persoalan individu
secara pribadi yang terkena.
|
Terdapat delik
yang hanya menjadi persoalan person / hanya menjadi persoalan keluarga
korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya.
|
4
|
Orang hanya dapat dipidana kalau ia dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan yang dilakukannya.
|
Orang yang tidak
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi hukuman,
keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman.
|
5
|
Tidak mengenal perbedaan tingkat/kasta pada orang yang menjadi korban perbuatan
pidana, sehingga pada dasarna perbuatan pidana yang ditujukan kepad setiap
orang, hukumannya sama.
|
Di daerah
tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan atau kasta
orang yang terkena perbuatan pidana
makin berat hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan
delik, dan lebih berat jika dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada
orang yang lebih rendah derajatnya.
|
|
Orang dilarang main hakim sendiri (eigenrichting)
|
Terdapat keadaan
yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim sendiri
|
|
Terdapat perbedaan hukuman antara orang yang melakukan delik dengan orang
yang hanya membantu, membujuk atau hanya turut serta melakukan delik.
|
Siapa saja yang
turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan kembali keseimbangan
yang terganggu.
|
|
Dikenal adanya percobaan yang dapat dipidana, yaitu percoibaan melakukan
kejahatan,
|
Tidak ada orang
yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja, karena dalam
sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka kalau keseimbangan
hukum dalam masyarakat terganggu.
|
|
|
Hakim dalam
mengadili perbuatan pidana memperhatikan pula apakah si pelanggar itu merasa
menyesal
|
4. Pembaharuan Hukum Pidana
Makna
dan hakikat pembaharuan hukum pidana, dilihat dari sudut pendekatan kebijakan,
merupakan bagian dari kebijakan sosial, bagian dari kebijakan kriminal dan
bagian dari kebijakan penegakan hukum. Sedangkan dilihat dari sudut pendekatan
nilai, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (re-orientai dan
re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana
yang dicita-citakan. Dalam kerangka pembaharuan hukum pidana tidak hanya
mencakup pembaharuan “struktural”, yaitu lembaga-lembaga hukum yang bergerak
dalam suatu mekanisme, tetapi harus pula mencakup pembaharuan “substansial”
berupa produk-produk yang merupakan suatu “sistem hukum” dalam bentuk
peraturan-peraturan hukum pidana yang bersifat “cultural” yakni sikap-sikap dan
nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya suatu sistem hukum.
Apabila
persoalan ini dikembalikan
pada pemahaman tentang istilah ‘hukum pidana nasional’, maka istilah nasional
harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak mau harus mencakup
1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi
bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab.
5. Hukum Pidana Adat dan Masalah Asas Legalitas serta
pertanggungjawaban pidana
Di
dalam menentukan dasar hukum atau patut dipidananya suatu perbuatan, RUUHP
2008 dasar hukumnya yang utama adalah
undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam
pengertian yang formal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) RUUHP
2008. Berbeda halnya dengan asas legalitas yang berlaku selama ini, konsep
masih memperluas perumusannya secara materiil, dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut
tidak mengurangi arti hukum yang hidup dan ada dalam kenyataan masyarakat, yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan
demikian di samping undang-undang (hukum
tertulis) sebagai kriteria patokan formal, RUUHP 2008 juga memberikan peluang
kepada sumber hukum tidak tertulis, sebagai dasar untuk menentukan kriteria
patut dipidananya suatu perbuatan. Namun perlu dicatat bahwa hal ini hanyalah
berlaku untuk perbuatan-perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP ataupun untuk
delik-delik yang tidak mempunyai padanannya dalam KUHP. Berangkat dari alur
pemikiran mengenai dasar patut dipidananya suatu perbuatan, maka konsep juga
menentukan bahwa tindak pidana, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan yang
melawan hukum, baik secara formal maupun material.
Tentang
pertanggungjawaban pidana RUUHP menegaskan
bahwa : “pertanggungjawaban pidana adalah, diteruskannya celaan yang obyektif
yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi
syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Selanjutnya ditegaskan
pula secara eksplisit dianutnya asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf zonder schuld) yang didalam
KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental,
yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam RUUHP sebagai
pasangan dari asas legalitas. Penegasan demikian merupakan perwujudan ide
keseimbangan monodualistik.
6. Hukum Pidana Adat dalam Hubungannya dengan Pembaharuan
Pidana dan Pemidanaan.
Di dalam RUUHP dirumuskan tentang “tujuan dan
pedoman pemidanaan”. Dirumuskannya hal ini bertolak dari pokok pemikiran :
1)
Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system) dan pidana hanya
merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan;
2)
Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub sistem) dari keseluruhan sistem
pemidanaan (sistem hukum Pidana) di samping sub sistem lainnya, yaitu sub
sistem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana” “kesalahan, dan “pidana”;
3)
secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian
proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislati), tahap “aplikasi”
(kebijakan judisial/judikatif),dan tahap “eksekusi” (kebijakan
administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan
antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan
perumusan dan tujuan serta pedoman pemidanaan.
Dicantumkannya
pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana tambahan, dilandasi
oleh suatu pemikiran bahwa pemidanaan yang bertolak dari dan didasarkan pada
KUHP (baca WvS) yang selama ini terjadi dalam praktek, kurang memenuhi tuntutan
rasa keadilan masyarakat yang masih mengenal dan memberlakukan hukum adat
pidana Kerugian yang diakibatkan oleh delik adat, tidak saja menyangkut
kerugian materiil, tetapi juga kerugian yang bersifat immateriil. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa hukum adat pidana dilandasi oleh suatu falsafah harmoni dan ’communal morality’.
Pelaksanaan saksi Pidana Adat jauh sebelum adanya kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP), di lingkungan masyarakat adat yang ada di wilayah Negara Indonesia sudah diterapkan sesuai saksi yang telah disepakati masyarakat adat yang ada di daerah tersebut. Telah terbukti bahwa dalam sistim Hukum Indonesia Hukum yang tidak tertulis ditengah masyarakat juga diakui sebagai salah satu sumber hukum walaupun kekuatan mengikatnya secara materil. Seihngga penyelesaian saksi pidana adat yang diterapkan di lingkungan masyarakat adat seharusnya diakui mempunyai kekeuatan yang sama dengan penyelesaian hukum secara formal.
BalasHapus