Karst di Indonesia ( Karst - Part I )


Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia ‘kras’ yang berarti lahan gersang dan berbatu. Istilah ini di Negara asalnya sebenarnya tidak berhubungan dengan batu gamping dan proses pelarutan, namun saat ini istilah karst telah diadopsi dan digunakan secara internasional sebagai istilah untuk bentuk lahan hasil proses pelarutan (Haryono, 2004). Lingkungan topografi karst terbentuk olh proses pelarutan yang sangat lambat (Sutikno, 1997). Karst sendiri merupakan suatu medan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder yang berkembang baik (Ford dan Williams, 1989), dan merupakan suatu kawasan yang unik dan dicirikan oleh topografi eksokarst seperti lembah karst, doline, uvala, polje, karren, keurucut karst, dan berkembangnya system drainase bawah permukaan yang jauh lebih dominan daripada system aliran permukaannya (Adji dkk, 1999).
Meskipun banyak mengalami perkembangan dewasa ini, namun perhatian terhadap karst di Indonesia masih kurang popular apabila dibandingkan dengan Negara lain yang juga memiliki kawasan karst. Di Indonesia, kawasan karst seringkali dipandang sebagai kawasan yang gersang dan tidak produktif serta hanya dapat dimanfaatkan untuk pertambangan, padahal kawasan ini kaya akan sumberdaya alam termasuk keunikan ekosistem yang terdapat di dalamnya.
Potensi yang ada di kawasan karst seringkali belum dapat dimaksimalkan karena kurangnya kajian mengenai kawasan ini. Kurangnya pengetahuan dan anggapan bahwa kawasan karst hanya cocok untuk pertambangan terkadang menyebabkan munculnya benturan antara kepentingan ekonomi dengan ekologi (lagi-lagi permasalahan ekonomi yang lebih dominan). Pengetahuan mengenai karakteristik kawasan karst khususnya ditinjau dari segi geomorfologi dan hidrologi merupakan hal yang sangat penting untuk menggali potensi yang dapat dikembangkan sehingga dapat meminimalisir bentuk pengelolaan yang tidak sesuai fungsinya dan pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan karst itu sendiri. Pengelolaan kawasan karst yang berwawasan lingkungan sangat penting mengingat kawasan karst sangat rentan terhadap resiko kerusakan lingkungan.
Karst sering dipandang sebagai kawasan yang gersang dan berbatu, tidak subur, dan memiliki produktivitas yang rendah. Padahal banyak sekali sumber daya yang dapat dimanfaatkan dari daerah karst untuk mendukung kehidupan. Sebagai suatu ekosistem, karst merupakan suatu kesatuan yang unik baik dilihat dari aspek fisik, biotik, maupun sosial masyarakatnya (Wonosuprojo, 2000).
Di sisi lain karst juga merupakan suatu fenomena alam yang memiliki fragilitas tinggi terhadap risiko kerusakan lingkungan. Pengelolaan yang tidak tepat akan berdampak buruk bagi kawasan ini. Dalam jangka pendek hingga panjang ekosistem karst terancam keberadaannya, dan perubahan yang akan terjadi disertai dampak negatif terhadap lingkungan secara keseluruhan sehingga fungsi kawasan karst menurun bahkan hilang.
Karst merupakan asset nasional, bahkan diantaranya asset internasional atau asset dunia yang tidak terbaharui dan tinggi nilainya dari:
  • Segi sains, khusunya geomorfologi, speleologi, karstologi, biospeleologi, ekologi, paleontology dan arkeologi.
  • Segi ekonomi, khususnya air bawah tanah dan keindahan alam baik di atas maupun di bawah tanah (gua) yang dapat dijual sebagai objek wisata alam dan sifatnya berkelanjutan. Tidak seperti untuk bahan galian yang akan habis bila dieksploitasi.
  • Segi budaya, khususnya peninggalan penghuni gua dari zaman prasejarah, legenda atau dongeng rakyat dari beberapa gua dan sumber air karst, tempat pertapaan dan peziarahan.


Komentar