Analisis Hubungan Teori Konflik dan Pelaksanaan PILKADA Langsung dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara


I.       Konsepsi Teoritis
a.    Clifford Geertz menyatakan: “Konflik politik disebabkan oleh ikatan primordialisme yang mengalami percampuran antara kesetiaan politik dengan kesetiaan primordial.”
b.   James Scott dengan teori patron-klien menyatakan: ”Sekelompok informal figure yang berkuasa (patron) dan memiliki posisi memberikan rasa aman, pengaruh atau keduanya.”
c.    Winarno menyatakan bahwa: “Sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih”.
d.   Bambang Purwoko menyatakan bahwa: “Dalam PILKADA langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyarakat untuk menduduki jabatan publik, juga berarti adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan”.

II.    Konsepsi Normatif
Secara normatif pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 dan Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Ketentuan tentang PILKADA langsung tercermin dalam penyelenggaraan PILKADA. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

III. Kasus Posisi
Dalam pemilihan kepala daerah yang terjadi di Maluku Utara terjadi konflik yang berawal dari persaingan Gafur-Fabanyo vs Thaib-Gani untuk memperebutkan kursi Gubernur dan wakil gubernur Provinsi Maluku Utara. Pada awalnya konflilk ini hanya berupa persaingan taktik kampanye, mulai dari iklan di media masa, berorasi dan mengumbar janji-janji untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka lebih baik di banding pasangan lainnya.
Kekisruhan yang terjadi diduga adanya keberpihakan masing-masing KPU terhadap pasangan yang dimenangkan. Bahkan dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa adanya hubungan etnis antara Thaib Armain dengan ketua KPUD. Konflik yang terjadi tidak berakhir disitu saja, konflik terus meluas hingga ke DPRD Maluku Utara sehingga di dalam tubuh DPRD terbagi menjadi dua kubu. Bahkan surat rekomendasi pengesahan salah satu pasangan pun ada dua versi. Versi yang pertama merekomendasiakan Gafur-Fabanyo yang akhirnya dianggap tidak sah. Sehingga DPRD mengesahkan surat rekomendasi versi kedua, yaitu mengesahkan Thaib Armain sebagai Gubernur dan Ghani sebagai Wakil Gubernur Maluku Utara.
Konflik yang terjadi juga semakin meluas kepada masa pendukung masing-masing calon. Bahkan pada tahap ini konflik sudah semakin menuju ke konflik fisik. Masing-masing pendukung Cagub dan Cawagub pernah terlibat kerusuhan besar yang tidak hanya merugikan mereka saja, tetapi juga merugikan masyarakat pada umumnya baik secara materiil maupun moril.
Kemudian konflik yang terjadi meluas di tatanan kepanitiaan. KPU Daerah berseteru dengan KPU Pusat, pada mulanya dipicu oleh pemecatan Kepala KPU Daerah oleh KPU Pusat karena dianggap tidak kompeten dalam melaksanakan tugas, kemudian KPU Pusat mengambil alih segala proses PILKADA. Dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Pusat pasangan Thaib-Gani dinyatakan sebagai pemenang dalam pilkada tersebut. Padahal dalam penghitungan suara sebelumnya yang dilakukan oleh KPUD, telah memenangkan pasangan Gafur-Fabanyo. Keputusan KPU Pusat yang memenangkan pasangan Thaib-Gani tidak diterima oleh KPUD dan segenap pendukung pasangan tersebut. Sampai akhirnya kasus ini dibawa ke MA, kemudian MA mengesahkan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPUD. Hal ini dikarenakan pemecatan terhadap kepala KPUD tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku atau cacat hukum. (sumber: http://juwita.blog.fisip.uns.ac.id)

IV. Analisis Hubungan Teori dan Praktik
Dalam catatan PILKADA di Indonesia, hampir semua berakhir dengan kericuhan serta konflik horizontal diantara para pendukung masing-masing pasangan. Pemicu konflik pun rata-rata sama yakni mengenai ketidakpuasan hasil akhir penghitungan suara. Meskipun menurut Winarno, sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang paling realistis untuk mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih. Dari situlah sikap primordialisme akan muncul, sehingga berpotensi menyebabkan konflik politik.
Berdasarkan pendapat Bambang Purwoko yang menjelaskan bahwa dalam PILKADA langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyarakat untuk menduduki jabatan publik, hal ini berarti adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan. Dari kasus posisi di atas, peran massa pendukung masing-masing calon gubernur dan wakil gubernur sangatlah besar, di samping sebagai pendukung secara kuantitas melalui pemilihan langsung juga sebagai pendukung secara kualitas, yakni akan membela para dukungannya dalam keadaan benar maupun salah.
Analisis dari konflik PILKADA Maluku Utara juga dapat menggunakan teori konflik Clifford Geertz, yang menyatakan bahwa konflik politik disebabkan oleh ikatan primordialisme yang mengalami percampuran antara kesetiaan politik dengan kesetiaan primordial. Sebuah ikatan primordial dapat membentuk sentimen dan loyalitas primordial yang menghasilkan solidaritas yang kuat antarkelompok. Solidaritas dalam kelompok primordial menghasilkan fanatisme yakni kesetiaan yang kuat kepada kelompok. Fanatisme ini dapat memperkuat integrasi kelompok, namun juga mempermudah terjadinya konflik dengan kelompok lain. Sikap seperti inilah yang sering dimanfaatkan di kancah perpolitikan Indonesia. Namun fanatisme atau kesetiaan ini bersifat tidak kekal,hanya bersifat sementara.
Seharusnya kesetian pada partai politik didasarkan pada kualitasnya namun apabila fanatisme pada suatu partai politik bercampur dengan primordialisme, maka fanatisme atau kesetiaan tersebut akan sulit diubah. Hal ini menyebabkan sulitnya pengawasan terhadap seorang yang berkuasa, karena baik ataupun buruk tetap saja dianggap baik oleh para pengikutnya.
Kemudian berdasarkan pendapat James Scott dengan teori patron-klien yang  menyatakan bahwa sekelompok informal figur yang berkuasa (patron) dan memiliki posisi memberikan rasa aman, pengaruh atau keduanya. Sebagai imbalan, pengikutnya (klien) memberikan loyalitas dan bantuan pribadi kepada patronya dalam kondisi apapun, baik patronya dalam keadaan benar ataupun salah.
Dengan menggunakan perpaduan antara teori C. Geertz dengan teori J. Scott di atas, dapat dilihat bahwa konflik yang terjadi karena adanya perselisihan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lainnya. Kedua pasangan tersebut dibela oleh para pendukungnya (klien). Klien dari keduanya akan membela masing-masing patronnya semaksimal mungkin, dengan kata lain massa pendukung kedua kubu akan terus mendukung patronnya masing-masing apapun kondisi patronnya dalam keadaan benar ataupun dalam keadaan salah.

V.    Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik ini bersifat top-down, artinya konflik yang terjadi di kalangan atas (patron) akan turun ke masyarakat luas (klien). Konflik di kalangan masyarakat bawah akan sulit terjadi jika pada kalangan atas tidak terjadi konflik dan konflik akan segera hilang jika para patron sudah melakukan konsensus. Dengan begitu, salah satu cara untuk mengakhiri konflik adalah dengan cara top-down juga, yaitu mendamaikan patronnya terlebih dahulu.

Komentar