POLITIK PERTANAHAN MASA REFORMASI



A.       PENDAHULUAN
Politik hukum tanah atau agraria adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam  rangka mencapai tujuan negara dalam bidang pertanahan dan agraria.
Politik Pertanahan ( Agraria ) Pada Era Reformasi (1998-Saat ini)
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi semakin menguat, dan dilakukannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agrarian) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
            Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agrarian, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
1.      Melaksanakan penataan kembali pengusaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat.
2.      Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Dalam rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Agraria disebutkan Tanah dan sumberdaya agraria selain tanah yang penguasaan dan pemilikannya melebihi batas maksimum, dikuasai oleh Pemerintah dan ditetapkan sebagai objek landreform untuk dibagikan kepada warga masyarakat yang termasuk dalam kelompok yang memperoleh hak utama.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Pembagian 8,15 juta hektare lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektara lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektare diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang dibagikan ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi Selatan. Tanah ini berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah ,milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.
Bahwa kebijakan pembaharuan agrarian dan alam tersebut dilaksanakan antara lain dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor serta menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan pada prinsip-prinsip berkeadilan.
Bahwa hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 TAP-MPR No. IX Tahun 2001 dimana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera melaksanakan Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksaannya pada Sidang Tahunan MPR RI.
Bahwa dengan disahkannya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam telah merusak pembaharuan hukum pengelolaan agrarian dan sumber daya alam yang telah dimandatkan secara tegas dalam TAP-MPR No. IX Tahun 2001, sehingga berpotensi kembali melanggengkan pola pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada eksploitasi (use oriented) yang mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, orientasi pengelolaan sumber daya alam yang lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), dimana hal tersebut akan mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi pengelolaan perekonomian masyarakat lokal.
Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah akhirnya bersifat sangat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi dan tidak terkoordinasi serta berpotensi melanggar hak asasi manusia dengan penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini bertentangan dengan Pembukaan alinea IV UUD 1945 yang menyatakan :
“….untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”

Hal ini sejalan dengan tujuan dari politik hukum pertanahan, yaitu antara lain :
1.      Untuk mengatur keselaran dan keseimbangan dalam pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya dalam hubungannya kepentingan manusia menuju masyarakat yang adil dan makmur.
2.      Untuk menjamin ketertiban, kepastian hukum dan keadilan dalam hubungannya dengan hak-hak seseorang atau masyarakat atas tanah (bumi), air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3.      Untuk penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan agraria atau pertanahan dengan memperhatikan hukum adat.
4.      Untuk mengatur dan sekaligus membatasi hak dan kewajiban seseorang atau badan hukum, dan masyarakat serta negara dalam hubungannya dengan kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan, pengusahaan, pemakaian, penatagunaan dan pengelolaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
5.      Untuk memberikan atau menetapkan kekuasaan dan kewenangan kepada pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum tertentu dengan tanah yang dimiliki, dikuasai, digunakan, dimanfaatkan, dipakai, dikelola, baik oleh seseorang, masyarakat, badan hukum maupun instansi pemerintahan lainnya.

Hal ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan dakam pengelolaan sumber daya alam adalah :
1.      Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini ;
2.      Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional;
3.      Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional ;
4.      Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatakan nilai tambah dari proyek sumber daya alam tersebut;
5.      Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;
6.      Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan;
7.      Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat, dan kondisi daerah maupun nasional.

Bahwa dengan berbagai indikasi penyimpangan atas beberapa prinsip yang disebut di atas telah terjadi pembelokan prinsip negara hukum, dimana hukum telah dipaki menjadi alat (instrument) untuk kepentingan kekuasaan semata, sehingga masyarakat menganggap perlu untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, seperti dinyatakan dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya berbagai permohonan uji materiil atas peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, maka perlu diterapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan landreform serta penciptaan insentif/disentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan peraturan perundang-undangan pertanahan dalam mempertimbangkan aturan masyarakat adat, serta peningkatan upaya penyelesaian baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution. Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaiatan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang menimbulkan banyak tanggapan dari masyarakat adalah Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berbagai tanggapan tersebut menjadi lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat. Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “seolah-olah” dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar ”bisnis” segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan criteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 akan tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.
Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat oleh pemerintah. Tetapi mungkin saja justru yang diuntungkan, termasuk para investor asing.
Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 memiliki kecendrungan untuk keperluan pragmatis pada era ini yang dibuat secara parsial dengan watak konservatif. Peraturan Presiden tersebut jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan dalam bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tersebut jelas sangat tidak partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh presiden (pemerintah). Dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat. Peraturan Presiden itu juga tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sehingga dalam pelaksanaanya banyak mendapat perlawanan dari masyarakat. Pada tahun 2006 diadakan perubahan terhadap PP No.36 Tahun 2005 yang dilakukan melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum. Hal ini membuktikan bahwa PP No.36 Tahun 2005 tidak responsif dan tidak mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat Indonesia dalam bidang pertanahan (Agraria).

B.        ANALISIS

Kasus
Tuntutan rakyat akan perlakuan yang lebih adil mengenai tanah makin bertambah besar. Berbagai peraturan pertanahan bukannya diselaraskan dengan asas dan tujuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi justru di belokkan demi sebuah target pertumbuhan ekonomi. [1] Dari pengalaman selama ini berbagai permasalahan di bidang pertanahan timbul dan memerlukan penanganan, salah satu permasalahan tersebut adalah pembebasan tanah untuk keperluan swasta. Misalnya sengketa tanah di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Masyarakat Tulang Bawang adalah masyarakat adat Lampung yang bersengketa dengan PT Sugar Group Companies and Co (SGC) selaku pihak swasta mengenai tanah ulayat.
Sengketa tanah di Tulang Bawang merupakan sengketa tanah yang paling tinggi. Permasalahan ini muncul karena adanya pengakuan tanah ulayat dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria dan pemahaman tentang Hukum Adat yang berlaku di Kabupaten Tulangbawang tidak sesuai dengan kaedah hukum adat setempat. Menurut masyarakat setempat, sengketa tanah tersebut bermula dari adanya 30.000-an hektare hutan adat yang belum dikompensasi oleh perusahaan PT Sugar Group Companies and Co (SGC) kepada masyarakat adat Tulang Bawang. Nilai dari hutan adat itu sekitar Rp100,88 milyar, jika nilai satu hektare tanah adat dipatok Rp3 juta. Hutan adat seluas 30.000-an hektare itu sampai  saat ini belum dikompensasi oleh perusahaan SGC, sehingga meresahkan penduduk setempat. Sengketa ini timbul karena adanya dua persepsi yang berbeda antara masyarakat setempat dengan PT SGC. Masyarakat mengaku belum mendapat dana kompensasi dari pihak perusahaan atas penggunaan lahan mereka, sementara Manajer Administrasi PT SGC Heru Sapto Handoko mengatakan, surat Hak Guna Usaha (HGU) perusahaannya adalah produk hukum yang dilindungi undang-undang dan sudah membayar ganti rugi lahan kepada masyarakat. Menanggapi pernyataan dari Manajer Administrasi PT SGC, masyarakat merasa dirugikan. Sehingga, empat tokoh atas nama masyarakat adat didampingi Bupati Tulangbawang Abdurachman Sarbini menyatakan, bahwa mereka meminta Presiden untuk menyelesaikan sengketa tanah adat antara mereka dan PT SGC, produsen gula nasional yang beroperasi di Tulangbawang.
Dalam kasus ini, pihak masyarakat Tulang Bawang mengaku bahwa tanah ulayat mereka seluas 30.000-an yang di gunakan oleh PT Sugar Group Companies and Co (SGC) belum mendapatkan ganti rugi dari perusahaan, sedangkan pihak perusahaan merasa bahwa mereka sudah membayar ganti rugi atas tanah tersebut. Jika memang benar bahwa pihak perusahaan sudah membayar ganti rugi seharusnya pihak perusahaan dapat menunjukkan bukti pembayaran tersebut.  Akan tetapi kenyataanya, pihak perusahaan tidak menunjukkan bukti pembayaran tersebut.
Berdasarkan pasal 2 ayat 3 Surat Keputusan Mentri Dalam Negri Nomor 257 Tahun 1975 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Teknis Pembayaran Ganti Rugi Secara Langsung yang menyatakan:
“Lalu lintas pembayaran ganti rugi secara langsung dan biaya administrasi dicatat dan dibukakan secara terpisah oleh Bendaharawan Yayasan Dana Landreform Daerah yang bersangkutan.”

Apabila memang ada pembayaran ganti rugi, maka data tersebut akan tercatat dalam pembukuan Yayasan Dana Landreform daerah Lampung.
Selanjutnya menurut pasal 7 yang menyatakan:
Pelaksanaan pembayaran ganti rugi secara langsung ini tetap berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yaitu harus dilampiri dengan:
1. Surat Tanda Penyerahan dan Penguasaan (STPS) atau salinan yang disahkan oleh panitia Landreform Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan.....”

Berdasarkan pasal tersebut, jika terdapat transaksi pembayaran ganti rugi maka pihak perusahaan memiliki bukti berupa Surat Tanda Penyerahan dan Penguasaan (STPS) atau salinanya yang disahkan oleh panitia Landreform Kabupaten Tulang Bawang, dan di kantor kepanitiaan Landreform Kabupaten Tulang Bawang  juga memiliki surat atau salinanya. Akan tetapi pihak panitia Landreform yang diwakili oleh Bupati Tulangbawang Abdurachman Sarbini juga menuntut pembayaran ganti rugi agar segera diselesaikan oleh PT Sugar Group Companies and Co (SGC), ini berarti bahwa surat tersebut tidak ada di kantor kepanitiaan Landreform Kabupaten Tulang Bawang.

Dasar Hukum Pengaturan
·         Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria.
·         Surat Keputusan Mentri Dalam Negri Nomor 257 Tahun 1975 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Teknis Pembayaran Ganti Rugi Secara Langsung.

Implikasi
Politik pertanahan masa reformasi berimplikasi pada pemerataan pembagian tanah untuk masyarakat, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Dengan perkiraan pembagian, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Serta memperbarui agrarian dan alam dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agrarian, dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor serta menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini. Sekaligus berusaha mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dalam kasus pertanahan dengan didasarkan pada prinsip-prinsip berkeadilan.

C.       KESIMPULAN
Dengan diterapkannya sistem desentralisasi di Indonesia, semangat pembaruan terhadap peraturan mengenai agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang rekomendasi pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agrarian) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah terkait masalah pertanahan, namun peraturan tersebut belum terealisasi dengan baik. Bahkan peraturan perundangan tersebut dirasa telah merugikan masyarakat dan menguntungkan investor asing. Perhatian pemerintah daerah terhadap kasus-kasus yang membelit masyarakat adat terkait tanah ulayat sangat kurang. Masih kerap dijumpai konflik-konflik masalah pertanahan antara masyarakat adat yang mempunyai tanah ulayat dengan pihak-pihak pemerintah maupun dengan pihak-pihak asing.

 DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cet. XVII, Djambatan, Jakarta, 2006.

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Cet. I, Raja Garafindo Persada, Jakarta, 2009.

Parlindungan, AP., Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Cet. IX, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Santoso, Urip, Hukum Agraria Dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. VI, Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

inilah.com, 2012, Masyarakat Adat Tulang Bawang Tuntut Tanah Ulayat, (online), file:///D:/document/kuliah/semester%202/H.ADAT/3.htm, diakses 20 september 2012

___________, 2012, Masyarakat Adat Tulangbawang Bawa Kasus Sengketa Tanah ke Presiden, (online), file:///D:/document/kuliah/semester%202/H.ADAT/4.htm, diakses 20 september 2012

Noerendho, 2011, Sengketa Tanah di Kab. Tulang Bawang Prov. Lampung, (online), file:///D:/document/kuliah/semester%202/H.ADAT/5.htm, diakses 20 september 2012

 

Yustisi.com, 2012, Masyarakat adat Tulangbawang Lampung bawa sengketa hutan adat dengan Sugar Group ke Presiden, (online), http://yustisi.com/2012/02/masyarakat-adat-tulangbawang-lampung-bawa-sengketa-hutan-adat-dengan-sugar-group-ke-presiden/, diakses 20 september 2012




[1] Eddy Ruchiyat, S.H., Politik Pertanhan Nasional Sampai Orde Reformasi, hlm.109

created 2gether by Novita dkk== fhuns11

Komentar