“Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan terhadap Tenaga
Kerja Anak yang Bekerja di Luar Hubungan Kerja pada Bentuk Pekerjaan Terburuk”
Oleh : Ujang Charda S
PENDAHULUAN
Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan
Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
tanpa adanya diskriminatif dalam pelaksanaan hubungan kerja. Pasal ini
mempunyai banyak dimensi pengertian, salah satunya adalah bagaimana caranya
agar semua orang mendapatkan pekerjaan dan kelayakan kehidupan bagi kemanusiaan
serta diakui hak-hak yang fundamental. Implikasi terhadap negara untuk berkewajiban memfasilitasi dan melindungi
warga negara agar dapat memperoleh penghasilan dengan standar penghidupan yang
layak.
Dalam jurnal ini, dijelaskan bahwa problematika anak
di bawah usia yang harus bekerja demi mempertahankan hidupnya belum menarik
banyak pihak untuk membelanya. Faktor utama penyebab kondisi tersebut adalah
kemiskinan. Faktor-faktor lainnya adalah faktor kultur, lingkungan
sosial-ekonomi keluarga, lemahnya perangkat hukum, pengawasan dan
pelaksanaannya, permintaan (demand), penawaran (supply),
menurunnya tingkat pendapatan pada sektor ekonomi di wilayah tertentu, serta
relokasi industri.
Secara nasional, perlindungan hukum terhadap anak
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 68 sampai dengan Pasal 74. Pasal 75
mengamanatkan kepada pemerintah agar melakukan penanggulangan terhadap anak
yang diperkerjakan dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dengan petunjuk teknis
lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang
belum diterbitkan. Namun pada aplikasinya sendiri memang belum maksimal,
buktinya banyak anak di bawah umur melakukan pekerjaan yang tidak semestinya ia
lakukan, menjadi buruh kuli misalnya. Kondisi itu merupakan salah satu bukti
bahwa pemerintah belum maksimal dalam melaksanakan amanatnya sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 75 UU No.13 Tahun 2003.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Tenaga Kerja Anak
Pada bagian pembahasan jurnal
ini diungkapkan bahwa sebagian masyarakat masih keliru dalam penyebutan antara
pekerja/buruh dengan tenaga kerja, bahkan tidak bias membedakannya. Padahal
berdasarkan UU No.13 tahun 2003 Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, sedangkan pekerja/buruh menurut Pasal 1 angka 3 UU
yang sama disebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja/buruh merupakan
bagian dari tenaga kerja yang bekerja untuk orang lain dan atas jasanya dalam
bekerja ia menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tidak membedakan antara pekerja/buruh halus (white collar) dengan
pekerja/buruh kasar (blue collar). Pembedaan pekerja/buruh dalam
undang-undang ini hanya didasarkan pada jenis kelamin (pekerja/buruh perempuan
dan laki-laki) dan usia (pekerja/buruh). Pembedaan ini dilakukan bukan dalam
rangka diskriminatif tetapi untuk melindungi pekerja/buruh yang lemah tubuhnya
dan untuk menjaga norma-norma kesusilaan.
Dalam jurnal ini dijelaskan
terdapat 2 (dua) pengertian tentang tenaga kerja anak menurut Soetarso , yakni:
a.
Anak yang dipaksa
atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan atau keluarganya
di sektor ketenagakerjaan formal;
b.
Anak yang
dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah untuk dirinya
sendiri dan atau keluarganya, di sektor ketenagakerjaan informal.
Pengertian tenaga kerja anak
mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pekerja anak, yakni bukan hanya
anak yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja saja, tetapi termasuk
juga anak yang bekerja di luar hubungan kerja untuk menghasilkan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan dirinya maupun masyarakat.
2.
Faktor-faktor
Pendorong Penggunaan Anak sebagai Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja Pada
Bentuk Pekerjaan Terburuk
a.
Kemiskinan;
b.
Keluarga;
c.
pengaruh lingkungan;
d.
potensi lokal
dan pola rekruitmen;
e.
kebutuhan
pendidikan dan orientasi masa depan;
f.
dorongan dari
diri anak sendiri.
Sebab-sebab pengusaha menggunakan anak sebagai tenaga
kerja, yaitu:
a.
karena anak itu
datang sendiri kepada pengusaha dan menawarkan tenaga;
b.
tenaga kerja anak
mudah diatur dan penurut bila dibandingkan dengan tenaga kerja dewasa;
c.
karena alasan
iba/kasihan daripada terlantar bekerja di jalanan di mana kondisinya sangat
berbahaya lebih baik direkrut menjadi pekerja;
d.
anak dapat diupah
rendah bila dibandingkan dengan orang dewasa. Pertimbangan minimalisasi biaya
produksi dan prinsip ekonomi merupakan alasan rasional yang pengusaha terapkan
dalam perekrutan anak sebagai tenaga kerja;
e.
adanya motif
sosial di antara pengusaha-pengusaha dalam merekrut anak-anak, seakan-akan
ingin menolong anak-anak yang menganggur dengan menciptakan peluang kerja,
sehingga anak bisa mendapatkan penghasilan (upah).
3.
Upaya
Hukum dalam Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Anak yang Bekerja di Luar
Hubungan Kerja Pada Bentuk Pekerjaan Terburuk
Sasaran utama pembangunan
ketenagakerjaan diarahkan untuk menjamin hak-hak tenaga kerja dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminatif atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha. Untuk mencapai sasaran pembangunan ketenagakerjaan
diperlukan berbagai penunjang antara lain tatanan hukum yang mendorong dan
menggerakkan pembangunan tersebut. Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
yang harus selalu dapat memberikan arah yang melindungi, mengatur, mendorong,
merencanakan, menggerakan dan mengendalikan masyarakat sesuai dengan
tahapan-tahapan pembangunan yang dilaksanakan.
Kondisi tenaga kerja anak
seperti di atas oleh International Labour Organization (ILO) disebut
sebagai kerja paksa (force labour condition). Di dalam praktiknya banyak
anak-anak ditempatkan sebagai tenaga kerja yang bekerja di luar hubungan kerja,
karena anak dipandang sebagai subordinat orang dewasa atau orang tuanya yang
harus selalu tunduk dan mengikuti kehendaknya, sehingga anak dilihat bukan
sebagai subjek hukum tetapi sebagai objek yang dapat diperlakukan sesuai
kehendak orang dewasa.
Atas dasar tersebut, telah
memunculkan berbagai teori/pendekatan dalam rangka perlindungan hukum terhadap
tenaga kerja anak, khususnya yang bekerja di luar hubungan kerja yang secara
garis besar ada 3 (tiga) pendekatan, yaitu
1. Pendekatan abolisionis, tenaga kerja anak dianggap
sebagai suatu masalah yang sama sekali tidak dapat ditoleransi, dan karenanya
harus dihapuskan sepenuhnya.
2. Pendekatan proteksionis bertolak dari suatu anggapan
bahwa menghapuskan sama sekali tenaga kerja anak merupakan suatu hal yang tidak
mungkin, karena dalam praktik sulit untuk direalisasi.
3. Pendekatan pemberdayaan, didasarkan kepada asumsi
bahwa pekerja anak menjadi bermasalah ketika tidak mempunyai keberdayaan untuk
mengorganisasi diri (self organization) dan membela hak-hak serta
kepentingannya.
Berdasarkan pendekatan di
atas, secara yuridis perlindungan tenaga kerja anak bertujuan untuk menjamin
berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya
tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Untuk itu pengusaha wajib melaksanakan ketentuan
perlindungan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
menurut Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan :
“Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas :
a. Keselamatan
dan kesehatan kerja.
b. Moral dan
kesusilaan.
c. Perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”.
Ditinjau dari
segi perlindungan ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diharapkan
dapat memberikan perlindungan dalam bidang ketenagakerjaan yang dapat dilihat
dari 3 (tiga) aspek, yaitu : aspek perlindungan sosial, perlindungan ekonomis
dan perlindungan teknis.
Perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja anak dalam pelaksanaan hubungan kerja melalui
pembuatan perjanjian kerja dengan bentuk tertulis, tujuannya sebagai upaya
mencapai kepastian hukum dan untuk melindungi pekerja dari tindakan
sewenang-wenang pihak pengusaha.30 Walaupun
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak memaksa untuk bentuk tertulis
sebagaimana diatur Pasal 51 ayat (1), yaitu : “Perjanjian kerja dibuat secara
tertulis atau lisan”.
Persyaratan adanya perjanjian kerja dalam suatu
hubungan kerja bagi tenaga kerja anak sifatnya wajib sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 69 ayat (2) yang berbunyi :
“Pengusaha yang
mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi persyaratan :
a.
izin tertulis
dari orang tua atau wali;
b.
perjanjian kerja
antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c.
waktu kerja
maksimum 3 (tiga) jam;
d.
dilakukan pada
siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e.
keselamatan dan
kesehatan kerja;
f.
adanya hubungan
kerja yang jelas; dan
g.
menerima upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003, diatur bahwa anak yang berusia 13-15 tahun diperbolehkan
melakukan hubungan kerja pada bentuk-bentuk pekerjaan yang sifatnya ringan
dengan izin tertulis dari orang tua/walinya, tidak melebihi 3 (tiga) jam,
dijamin keselamatan dan kesehatan kerjanya, upah yang memenuhi kebutuhan secara
layak bagi kehidupannya serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku,32 tidak mengganggu waktu sekolah dan dilakukan siang
hari yang dituangkan ke dalam perjanjian kerja secara tertulis yang ditanda
tangani oleh orang tuanya/walinya.
Secara struktural, peran
negara dan pemerintah bukan hanya cukup dengan membuat peraturan
perundang-undangan saja, tetapi lebih dari itu adalah melaksanakan peraturan
yang telah dibuat diwujudkan menjadi kenyataan. Hal ini merupakan tuntutan,
karena Indonesia menganut negara hukum dalam arti materiil atau negara
kesejahteraan atau negara kemakmuran (welfare state) yang menjamin
keadilan kepada warganya yang tercipta karena atas berkat rahmat serta ridha
Allah Yang Maha Kuasa (baldatun thayibatun ghaffur) dan dengan didorong
oleh keinginan luhur bangsa untuk berkehidupan, kebangsaan yang bebas, merdeka
berdasarkan suatu ketertiban menuju kesejahteraan.34 Ketentuan tersebut merupakan landasan bagi arah
politik pembangunan hukum nasional dalam rangka melindungi segenap bangsa
sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia dan asas perlindungan
(hukum), tanpa kecuali. Artinya negara turut campur dan bertanggung jawab dalam
upaya mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai perwujudan perlindungan
hukum.
Oleh karena itu, peran negara
melalui Departemen Tenaga Kerja, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan dan
departemen terkait lainnya sangat penting, termasuk pemerintah daerah. Demikian
juga, lembaga perlindungan anak, seperti Komisi Hak Asasi Anak, yayasan
perlindungan anak dituntut perannya secara intensif dalam menanggulangi masalah
anak yang dipekerjakan pada bentuk pekerjaan terburuk. Dari beberapa lembaga
Negara ini harus adanya sinergisitas dalam menjalankan fungsinya kaitannya
dengan perlindungan hukum terhadap anak.
PENUTUP
Simpulan
·
Perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja anak yang bekerja diatur dalam Undang-Undang No.13
Tahun 2003.
·
Perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja anak belum sepenuhnya ditegakkan,
·
Terdapat 3 (tiga)
pendekatan penegakkan hukum dalam upaya perlindungan tenaga kerja anak.
Komentar
Posting Komentar