Analisis secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
A.
Analisis
Secara Filosofis
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dibuat untuk melancarkan proses pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alasan filosofis lainnya
adalah untuk menggantikan produk hukum yang lama karena dianggap menempatkan
pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam hubungan industrial.
Beberapa pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan justru dibatalkan Mahkamah
Konstitusi karena dinilai merugikan buruh. Sementara di lapangan menunjukkan
hal yang tidak sinkron, sebab banyak pekerja yang merasa dirugikan karena
putusan sepihak yang dilakukan oleh pengusaha.
Hal ini dimulai ketika Mahkamah
Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial
review yang diajukan Saipul Tavip dkk pada akhir 2004 silam. Saat itu Mahkamah
Konstitusi membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan kepada pengusaha untuk
memecat secara sepihak buruh yang dituduh melakukan kesalahan berat.
B.
Analisis
Secara Yuridis
Undang-Undang Ketenagakerjaan
kembali direvisi pada tahun 2010. Pengajuan dilakukan Serikat Pekerja Bank
Central Asia (SP BCA). Hasilnya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang berbunyi:
(1) Dalam
hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
Pasal
120 ayat (1) dan ayat (2) di atas mengatur mengenai syarat perundingan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Kemudian pada akhir tahun 2011,
sejumlah pekerja mengajukan Pasal 155 ayat (2) yang berbunyi: “Selama putusan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Pasal ini berisi tentang upah proses untuk diuji dan dikabulkan Mahkamah Konstitusi
sebagian. Terakhir adalah putusan MK di awal tahun 2012 yang mengabulkan
permohonan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Didik Suprijadi terkait
pasal yang mengatur mengenai outsourching.
MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat. Pemerintah sebenarnya
sadar bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah tak utuh lagi. Oleh karena itu,
Menteri Tenaga dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan Undang-Undang
Ketenagakerjaan layak untuk disempurnakan.
Terkait dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan berarti akan menyangkut pula setidaknya dua kepentingan, yaitu
kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan ini yang kerap
bertolakbelakang dan bahkan cenderung menegasikan. Pekerja menuntut
kesejahteraan setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin untung
sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan maupun perubahan Undang-Undang
Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut.
Perbedaan mengenai perlu tidaknya
revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ternyata juga terjadi di kalangan buruh.
Wakil Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sahat Butar Butar
menuturkan ada pro-kontra di tingkat buruh mengenai revisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan ini.
Pendapat
yang sama, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit, Indra
Munaswar mengatakan ada sebagian buruh yang menolak keberadaan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Tapi mereka juga tak mendukung rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Karena itu sejak tahun 2006 Indra mengaku aktif mengajak buruh untuk menyiapkan
draf revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Salah satu pemicunya adalah
banyaknya putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Sementara di dunia usaha
menginginkan agar ketentuan di Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tergolong
memberatkan pengusaha, direvisi. Salah satu ketentuan yang dianggap memberatkan
pengusaha adalah mengenai pesangon.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo), Djimanto punya pandangan yang lebih konseptual mengenai pentingnya
mengganti Undang-Undang Ketenagakerjaan. Menurutnya ada ketidakselarasan antara
judul, maksud dan substansi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dari segi isinya, Undang-Undang
Ketenagakerjaan mayoritas membahas mengenai perburuhan saja. Jika undang-undang
itu disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan seharusnya yang termaktub bukan hanya
mengatur masalah perburuhan, tapi ketenagakerjaan yang lebih luas, misalnya
petani, nelayan dan wiraswasta. Karena sektor pekerjaan yang disebut itu
menginginkan kelangsungan pekerjaan dan jaminan sosial, sebagaimana buruh.
Atas dasar itu Djimanto merasa
perlu ada pemisahan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang
yang menyangkut pekerja di sektor lain, namun Undang-Undang utama ada di Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Misalnya Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya membahas perihal
pokok ketengakerjaan sedangkan untuk pekerja sektor informal ada Undang-Undang
Sektor Informal, Undang-Undang Pekerja Migran dan lain sebagainya. Menurut
Djimanto hal tersebut akan menegaskan sistem ketenagakerjaan yang digunakan
Berbicara
mengenai fungsi pengawasan sangat diperlukan terhadap perbedaan perlakuan dalam
pekerjaan dan jabatan, sebab dengan pengawasan demikian dapat dicegah
setidak-tidaknya dikurangi kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan
Kesejahteraan dalam faktanya masih jauh dari peraturan yang telah ditulis serta
mengikat bagi siapa pun yang menjadi tanggungjawab menjalankannya. Untuk
masalah pengupahan saja, para pengusaha di Indonesia masih menggeneralisasi
tentang kenaikan UMP yang sama dengan kenaikan gaji. Gaji semestinya terdiri
dari UMP ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang sifatnya tetap. Hal ini,
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: UMP yang telah ditetapkan melalui
SK pemerintah yang tidak pernah dikawal, baik oleh pemerintah sendiri khususnya
Disnakertrans dan juga tidak dikawal oleh para pekerja baik yang sudah
tergabung dalam asosiasi maupun yang belum. Perusahaan di daerah Bandung pun
masih mendiskreditkan tentang masalah pengupahan yang telah diatur pada Pasal
93 yang menyatakan wajib bagi para pengusaha untuk memberikan upah bagi
pekerjanya yang sakit selama 12 bulan sebelum pemutusan hak kerja.
C.
Analisis
Secara Sosiologis
Masalah
kesejahteraan bagi para pekerja oleh Undang-Undang No.13 Tahun 2003 masih
kurang lengkap dibahas secara mendetail, sebab kesejahteraan pekerja adalah hal
yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah dan pengusaha. Seperti yang tercantum pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (3): “Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2): “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Memang
sampai saat ini Indonesia telah mengatur kesejahteraan bagi para pekerja yang
termaktub dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang baru pada
tanggal 19 Oktober 2004 dibuat, namun sampai waktu yang telah ditentukan
undang-undang tersebut masih belum bisa dijalankan oleh karena belum
terselenggaranya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sampai saat ini
masih digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, 11 Peraturan Pemerintah serta 10
Peraturan Presiden untuk menjalankan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) bagi para pekerja Indonesia dengan BPJS sebagai penyelenggara Undang-Undang
SJSN tersebut. Oleh karena itu, para Serikat Pekerja Sosial Nasional dan Komite
Aksi Jaminan Sosial sampai saat ini terus mendesak Pemerintah untuk segera
memberlakukan BPJS. Sebab sampai saat ini para pekerja masih diambang
kebingungan serta ketakutan akan lima jaminan yang belum dilindungi. Jaminan
Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun serta
Jaminan Kematian.
Hubungan
Industrial yang tercantum pada Bab XI telah secara mendetail diatur oleh Undang-Undang
No.13 Tahun 2003. Pada hubungan industrial tersebut mengatakan bahwa bagi para
pengusaha yang telah memiliki pekerja 50 orang wajib untuk membentuk kerjasama
bipartit: forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh yang sudah tercatat instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja atau buruh.
Seperti
yang tercantum pada Pasal 107, bahwa lembaga kerjasama tripartit adalah untuk
memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait
dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga
kerjasam tripartit ini berskala Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Dalam
Undang-Undang Bab XI ini, pengusaha dan
pekerja bersama-sama menyusun perjanjian kerjasama yang baik, yang tidak berat
sebelah dan melindungi hak-hak para pekerjanya melalui pasal 116 dengan cara
musyawarah, tertulis dan tersumpah. Selain itu, diatur pula cara penyelesaian
perselisihan dalam hubungan industrial yang dijalankan oleh kedua belah pihak secara
musyawarah dan mufakat yang tercantum pada pasal 136. Apabila tidak terjadi
jalan tengah yang diinginkan oleh kedua belah pihak, maka akan terjadi
pemogokan kerja yang dilakukan oleh seorang atau organisasi pekerja sampai
tuntutan para pekerja tersebut dipenuhi, hal ini juga tercantum pada paragraph
kedua dari pasal 137 sampai dengan pasal 145.
Secara
garis besar Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sudah hampir
tercukupi, namun ada beberapa pasal atau pembahasan suatu ketenagakerjaan yang
harus dibuat secara terperinci. Contoh, pada Bab X tentang Perlindungan,
Pengupahan dan Kesejahteraan. Pada hal kesejahteraan, undang-undang ini masih
saya anggap kurang memiliki keberpihakan pada para pekerja, sebab dalam
undang-undang ini hanya dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan jaminan
sosial serta kesejahteraan para pekerja dan anggota keluarganya, namun
bagaimana penentuan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut tidak ada pada
pasal-pasal secara teperinci membahas hal tersebut, selain itu, untuk masalah
ini pemerintah hanya membuat tiga undang-undang tentang kesejahteraan pekerja
yang masih sampai saat ini menjadi polemik antara pengusaha dan pekerja, hal
ini dirasa kurang cukup untuk menyejahterakan para pekerja Indonesia.
Apa
yang telah diuraikan Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO yang
telah diratifikasi adalah suatu standard yang paling mendasar (Fundamental
Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam standar tersebut
digunakan sebagai dasar untuk menyusun perundang-undangan nasional. Karena itu,
Konvensi-Konvensi Perburuhan Internasional memiliki dampak yang terus berlanjut
di luar kewajiban-kewajiban hukum yang ditimbulkan.
Setiap
anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang
dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat
Kerja “untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan
hak-hak mendasar di tempat kerja”.
Hak
pekerja atau serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua hak-hak yang
dibicarakan dalam serikat pekerja; hak–hak dasar, hak–hak fundamental, ILO Core
Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama–nama lainnya, sesungguhnya adalah
sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai
hak tersebut ataupun tidak berani ”meminta” hak tersebut. Sebagai perorangan
pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan kepentingannya (“meminta
haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban. Mereka membutuhkan
organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan hak-haknya.
(dikutip dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar